Senin, 06 Juni 2011

JK Restui Pembelian Pesawat China Karena Terlanjur Diteken Kemenkeu

JK Restui Pembelian Pesawat China Karena Terlanjur Diteken Kemenkeu

Jakarta - Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali angkat bicara soal pembelian 15 pesawat M-60 buatan China untuk PT Merpati Nusantara Airlines. Saat jadi Wapres, sejak awal ia tak setuju dengan pembelian pesawat tersebut namun ia akhirnya terpaksa menyetujui dengan berbagai syarat yang panjang. Mengapa?

JK menuturkan persetujuannya tak terlepas adanya fakta pada 5 Agustus 2008 telah terjadi penandatangan self agreement antara Indonesia dengan China yang ia sendiri tak tahu menahu. Penandatanganan itu dilakukan oleh Dirjen Pengelolaan Utang pada waktu itu berdasarkan surat kuasa Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Setidaknya ia mengungkapkan pada rapat 30 Juni 2008 hingga rapat terakhir sebelum ada perjanjian yaitu pada 27 Juli 2008 tetap diputuskan opsi penambahan armada untuk Merpati tetap ditolak. Pemerintah waktu itu masih memegang opsi penyelamatan Merpati tanpa penambahan armada namun dengan mengorbankan pemutusan hubungan kerja (PHK) sekitar 1.700 orang pegawai Merpati.

"Saya terkejut ada self agreement 5 Agustus, tiba-tiba tanggal 5 Agustus 2008. Kenapa tiba-tiba ada kredit US$ 232 juta antara China dengan Menkeu, nggak ada yang tahu," ungkapnya kepada wartawan saat ditemui di kediamannya, Jalan Brawijaya, Jakarta, Senin (6/6/2011).

"Sudah ada tanda tangan menteri keuangan loan agreement-nya, kalau saya cabut tandatangan menteri keuangan tidak dihargai lagi di internasional. Maka saya katakan oke, pemerintah melaksanakan tetapi syaratnya," katanya.

Setelah ada kesepakatan itu, JK mengaku memberikan perintah kepada tim negosiasi untuk terus berunding termasuk menjajaki opsi leasing pesawat MA-60 terlebih dahulu walaupun tetap gagal.

Adapun syarat-syarat yang ia ajukan antara lain soal adanya permintaan Indonesia untuk buyback pesawat oleh Xi'an Aircraft selaku produsen MA-60 jika terjadi kerusakan, ditiadakannya paket simulator agar lebih murah, tidak ada kewajiban pembelian sparepart namun dibeli sesuai dengan kebutuhan dan lain-lain.

"Kalau kemahalan bagaimana bisa hidup Merpati nanti bangkrut lagi Merpati. Jadi konteksnya menyelamatkan Merapi, jadi harus efisien," katanya.

Namun yang membuat JK bingung adalah syarat-syarat tersebut tak bisa dilaksanakan setidaknya selama setahun. Padahal pihak Merpati selalu menyatakan biaya pembelian paket 15 pesawat tersebut hanya US$ 168 juta tetapi yang tercatat dalam utang negara secara penuh mencapai US$ 232 juta.

"Pertanyaannya kenapa berbeda antara yang disebut Merpati dan utang pemerintah, US$ 60 juta bedanya," katanya.

JK mengaku penandatangan kesepakatan pembiayan pembelian MA-60 China pada 5 Agustus 2008 menjadi tonggak awal sulitnya posisi Indonesia menghindar dari pembelian pesawat buatan China tersebut. Hingga sekarang ia pun masih belum tahu mengapa tiba-tiba ada persetujuan pembiayaan kredit oleh menteri keuangan.

"Tak ada yang pernah berani jawab nih barang kenapa diteken," katanya.

Ia berharap dengan masuknya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pembelian ini akan semakin menguak permasalahan sebenarnya pembelian 15 unit MA-60 oleh Merpati, yang menggunakan skema Subsidiary Loan Agreement atau SLA yang disetujui pemerintah.

Sebelumnya Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Sardjono Jhony Tjitrokusumo mengatakan ada persetujuan JK terkait pembelian 15 unit pesawat MA-60 untuk Merpati. Hal ini mementahkan pengakuan JK sebelumnya yang telah menolak opsi pembelian MA-60.

Pihak kementerian keuangan juga mengakui pada saat ditandatangani pada 5 Agustus 2008, perjanjian pinjaman tersebut belum efektif.

Perjanjian baru dinyatakan efektif pada saat pihak CEXIM Bank menyampaikan Notice of Effectiveness of The Loan Agreement pada 30 Juni 2010, setelah perjanjian penerusan pinjaman (Subsidiary Loan Agreement atau SLA) antara Pemerintah Indonesia dengan Merpati ditandatangani pada 11 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar