Kamis, 29 Desember 2011

PROPOSAL PENELITIAN HUKUM


Posted by Zuryawan Isvandiar Zoebir pada 13 Agustus, 2008
Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum, Universitas Jayabaya, Jakarta, NPM. 200201026230
 
Tulisan ini merupakan Proposal Penelitian Hukum

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

(Identifikasi Indikator-indikator Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

1. Identifikasi Masalah
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan (daerah) merupakan salah satu syarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini, telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh kasus, dari sekian banyak program pembangunan bidang hukum di Kabupaten Bogor yang menyangkut isu sentral: penyusunan produk-produk hukum daerah, sosialisasi produk-produk hukum daerah, serta penegakkan produk-produk hukum daerah ternyata implementasinya di lapangan dianggap gagal (Pakuan, 2002).
Sedikit sekali keberhasilan yang “dinikmati” warga masyarakat, kecuali hanya sebatas dalam bentuk fisik produk-produk hukum daerah belaka. Pembangunan hukum daerah dalam implementasinya ternyata telah dilakukan tanpa mengubah secara signifikan hal-hal substansial peningkatan derajat penghargaan masyarakat terhadap produk-produk hukum daerah, dalam hal ini peraturan-peraturan daerah. Terlihat sangat ironis, dan contoh kasus ini sekaligus menunjukkan sangat dominannya top-down policy pemerintah (daerah) dalam pembangunan di bidang hukum. Jika saja partisipasi masyarakat dioptimalkan keterlibatannya sejak awal perencanaan dan pelaksanaan program, serta institusi pemerintah daerah terkait dilibatkan secara benar, maka hampir dapat dipastikan upaya-upaya tersebut akan membuahkan hasil yang lebih baik serta mendekati sasaran yang diharapkan.
Proses pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi program pembangunan (hukum) di tingkat daerah (local), terbukti telah berhasil membawa perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan kesadaran (hukum) masyarakat (Clark,1995: 595; Friedmann, 1992: 161). Pembangunan hukum yang lebih berorientasi kepada masyarakat, yang tercermin melalui pengoptimalan keterlibatan masyarakat dalam rangkaian penyusunan peraturan daerah tertentu, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah) sebagai strategi yang tepat untuk menggalang militansi kesadaran masyarakat terhadap ketaatan pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum. Pada gilirannya nanti, strategi ini mampu berperan secara nyata dalam meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan daerah. Keyakinan itu perlu terus ditanamkan, terutama dalam diri aparatur yang secara fungsional menangani proses-proses penyusunan peraturan-peraturan daerah pada pemerintah kabupaten/kota.
Selanjutnya, hal terpenting dan menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya dalam usaha-usaha yang nyata. Upaya-upaya ke arah tersebut tentu tidak secara serta merta dapat terwujud dan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan menghabiskan banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang memiliki integritas dan hati nurani yang jernih. Karena dalam pelaksanaannya di masyarakat, aparatur akan sangat banyak dituntut menggunakan mekanisme komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan penuh kesabaran, dan sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda.
Di masa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam perencanaan hingga pengimplementasian program pembangunan hukum didaerahnya, sedangkan kelompok luar yaitu NGO hanya akan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator, serta peran pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan penunjang termasuk menentukan aturan dasar permainannya (Friedmann,1992:161). Bagi aparatur pemerintah, NGO maupun masyarakat, implementasi program-program pembangunan harus dianggap sebagai suatu proses pembelajaran (hukum) (Clark,1995: 595), melalui proses evaluasi terhadap segala hal yang telah dicapai dalam implementasi peraturan-peraturan daerah, serta mempelajari berbagai kendala yang dihadapi. Perubahan mendasar tampaknya sangat perlu dilakukan disini, oleh karena keadaan nyata (existing condition) yang terjadi pada hampir seluruh pemerintah daerah, seperti peran-peran kontributor, fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator penyusunan konsep-konsep dan ide-ide pembangunan seperti yang kerap kita baca pada media-massa, seringkali dominan berada pada pemerintah (daerah). Proses pembelajaran yang seyogyanya terjadi pada implementasi program pembangunan hukum daerah tidak pernah terjadi, bahkan yang terjadi adalah secara tidak sadar pemerintah telah melakukan hal-hal sebaliknya, yaitu upaya-upaya sistematis pembodohan masyarakat yang dilakukan melalui peraturan-peraturan daerah yang telah disusun bersama-sama dengan legislatif daerah.
Jika diperhatikan dengan seksama, prosedur penyusunan program pembangunan bidang hukum yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya berniat mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat. Proses tersebut dilakukan melalui tahapan-tahapan logik yang dimulai dari tingkat desa/kelurahan yaitu kegiatan musyawarah pembangunan desa/kelurahan, kemudian dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah kerja pembangunan, demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang melibatkan lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mekanisme yang cukup baik tersebut tetap dinilai kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan masyarakat.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, kesalahan utama tentu akan dialamatkan kepada tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh metode-metode partisipatif oleh aparatur yang terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program pembangunan hukum kepada masyarakat. Jika dilakukan secara benar, penerapan mekanisme tersebut memastikan terjadinya identifikasi yang menyeluruh dan mendalam hingga ke tingkat akar rumput (grassroots) terhadap produk-produk hukum yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat, walaupun upaya ini harus dilakukan setelah terlebih dulu melalui proses-proses yang menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Lebih jauh, Korten (1988: 64) mengidentifikasikan banyaknya faktor yang ditemukan dan turut memperburuk citra kinerja penyusunan program pembangunan (dalam hal ini bidang hukum) antara lain yang dianggap dominan adalah faktor kekurang-keterbukaan aparatur pemerintah (daerah) terhadap masyarakat dalam proses tersebut. Akumulasi kondisi seperti ini selama berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan perasaan apriori masyarakat menumpuk, sehingga seperti yang sering kita lihat, telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kepada kurangnya intensitas partisipasi masyarakat dalam program pembangunan.
Jika kita tidak mau belajar dan tidak mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin, maka setelah mencapai titik jenuh, pada saatnya keadaan ini berpotensi menjadi gerakan yang destruktif sebagai reaksi terhadap dominasi yang berlebihan dari pemerintah (daerah), serta dianggap merupakan pemaksaan program-program pembangunan kepada masyarakat. Adanya kekhawatiran pemerintah (daerah) dengan alasan akan sulitnya mengakomodasikan keinginan masyarakat yang begitu banyak jika dilakukan transparansi seluas mungkin kepada masyarakat, harus sudah mulai ditinggalkan dan harus dianggap sebagai suatu konsekuensi logis dan buah dari kekurangtepatan orientasi program pembangunan yang dilakukan selama ini. Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama tentu harus dimaknai sebagai suatu rangkaian dari keseluruhan proses pembelajaran.
Proses partisipasi masyarakat dalam rangkaian penyusunan program pembangunan hukum, secara implisit mengandung makna terdapatnya faktor inisiatif yang berasal dan berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah hanya bertindak sebagai penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal ini aparatur pemerintah (daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta kemampuan untuk dapat memberi respon terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal dari tingkat bawah, daripada menonjolkan kepentingan mereka sendiri atau berdalih demi menjaga kewibawaan pemerintah (daerah).
Dalam kenyataan, inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan untuk memperoleh perhatian dan tanggapan, mereka terpaksa mengambil jalan pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran hukum, misalnya dengan melakukan pengrusakan ataupun pembakaran.
Pada hakikatnya partisipasi masyarakat di bidang pembangunan hukum mengandung makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses tersebut, mengusahakan penyusunan program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan pendekatan memperlakukan manusia sebagai subyek dan bukan obyek pembangunan. Hal ini dipertegas oleh Eldridge (1995:17) “participation means a shift in decision making power from more powerful to poor, disadvantages, and less influential groups.” Keberdayaan rakyat merupakan kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan, baik yang menyangkut penentuan nasib sendiri maupun perubahan diri sendiri atas dasar kekuatan sendiri sebagai faktor penentu.
2. Permasalahan
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan sering hanya dipandang sebagai suatu pendekatan (approach) dan bukan sebagai tujuan (objective) (Rifkin,1988: 931-940). Sebagai pendekatan maka partisipasi masyarakat hanya dijadikan sarana untuk mencapai tujuan tertentu (as a means), sehingga studi-studi yang dilakukan acapkali berputar-putar disekitar bagaimana menumbuhkan dan melaksanakan partisipasi tersebut daripada studi mengenai bagaimana menganalisis partisipasi masyarakat itu sendiri, yaitu dengan cara melihat atau menelaah partisipasi masyarakat sebagai tujuannya sendiri (as an end in it self).
Namun demikian cara pandang atau konsepsi analisis partisipasi masyarakat sebagai sebuah tujuan, masih tetap menyisakan kelemahan. Indikator dan pengukuran yang digunakan dalam telaah partisipasi masyarakat seringkali tidak mampu menunjukkan sosok partisipasi itu sendiri. Keadaan ini menyebabkan partisipasi masyarakat acapkali diterjemahkan hanya sebagai kontribusi tenaga dan finansial masyarakat dalam program pembangunan, sehingga keterlibatan masyarakat dianggap terbatas hanya dalam tahap implementasi/pelaksanaan program saja. Segala bentuk perencanaan dan pengambilan keputusan awal telah dilakukan di tingkat yang lebih atas, sehingga masyarakat hanya tinggal melaksanakannya saja. Dengan demikian, kesempatan masyarakat untuk dapat berkontribusi pada program tersebut hanya tersisa pada bentuk kontribusi finansial dan tenaga kerja pada tataran implementasi.
Permasalahan partisipasi masyarakat pada akhirnya bukan hanya sekedar bagaimana pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan, tetapi juga pada telaah mengenai partisipasi itu sendiri melalui pembuatan model atau construct partisipasi. Jika terjadi suatu persamaan persepsi mengenai partisipasi masyarakat, maka dapat diususun indikator-indikator yang relatif ideal, yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dalam berbagai program pembangunan hukum daerah. Analisis dan pengukurannya tidak cukup hanya dengan melihat ada atau tidaknya partisipasi tersebut, namun perlu pula dilihat derajat atau tingkat partisipasi masyarakat, kelompok individu atau perorangan di dalam masyarakat tersebut (Eng, et. Al, 1986).
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan utama dari penelitian ini akan difokuskan pada : bagaimana menyusun sebuah telaah terhadap indikator derajat/tingkat partisipasi masyarakat agar mampu menunjukkan sosok partisipasi itu sendiri, sehingga partisipasi masyarakat dapat diakui sebagai faktor yang memberi kontribusi positif terhadap keberhasilan program pembangunan di bidang hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah.
Secara lebih spesifik, permasalahan penelitian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut :
Apa saja bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di bidang hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
Apa saja indikator-indikator ideal yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dan upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?; dan
Apa saja upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam melakukan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
3. Kerangka Teori
Teori adalah suatu cara untuk mengklasifikasikan fakta, sehingga seluruh fakta tersebut dapat dipahami sekaligus (Zanden, 1979). Kerangka teori sangat bermanfaat bagi suatu penelitian, yaitu :
mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi;
merupakan suatu ikhtisar dari hal-hal yang sudah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang diteliti;
memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;
memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.
Sherry R. Arnstein
Menurut Arnstein (1969), adanya partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan oleh terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok masyarakat penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan tanggungjawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta tersebut kemudian digambarkan sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut :

TANGGA DERAJAT PARTISIPASI DARI ARNSTEIN
(Arnstein’s Ladder of Citizen Participation) :
Penguasaan Masyarakat à Tingkat Penguasaan Masyarakat
Delegasi Wewenang
Kemitraan

Plakasi à Tingkat Tokenisme
Konsultasi
Pemberian Informasi

Terapi à Tingkat non-Partisipatif
Manipulasi
Gradasi terendah adalah tingkatan yang masyarakatnya hanya ramai-ramai diikutsertakan dalam kegiatan tanpa diberi wewenang untuk menolak atau memberi saran, dan tanpa tahu keuntungan apa bagi mereka (non-participation), meningkat ke gradasi penyertaan wakil masyarakat dalam kepanitiaan, tetapi hanya berfungsi sebagai tukang stempel tanpa mempunyai kekuasaan dalam memutuskan sesuatu karena akan kalah suara (degree of tokenism), sampai ke gradasi pengendalian total dari kegiatan mulai dari awal sampai akhir oleh masyarakat (degree of citizen control).
John M. Cohen dan Norman T. Uphoff
Membagi partisipasi masyarakat kedalam dua elemen yang saling bertautan satu sama lain, yaitu dimensi partisipasi dan konteks partisipasi. Dimensi partisipasi menjelaskan tentang apa yang dilakukan dalam kegiatan (what dimension), dan bagaimana partisipasi tersebut berjalan (how dimension). Konteks partisipasi menunjukkan latar belakang teknis dari program, dan latar belakang sosial masyarakat yang dapat mempengaruhi timbulnya partisipasi tersebut.
Partisipasi pada dimensi what dapat terjadi dalam empat langkah proses pelaksanaan suatu program yaitu:
partisipasi dalam proses pengambilan keputusan;
partisipasi dalam implementasi/ pelaksanaan program;
partisipasi dalam pemanfaatan hasil program; dan
partisipasi dalam penilaian.
Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan merupakan hal yang sangat penting, karena pada tahap itu masyarakat sering terabaikan. Program kegiatan langsung turun dalam bentuk jadi sehingga masyarakat tinggal melaksanakan saja, tanpa ada kesempatan untuk memberi masukan dan lain sebagainya. Menurut Uphoff dan Cohen, ada tiga jenis proses pengambilan keputusan, yakni:
Initial decision merupakan proses pengambilan keputusan pada tahap perencanaan program kegiatan. Seringkali anggota masyarakat tidak disertakan pada proses pengambilan keputusan pada tahap itu karena umumnya program telah ditentukan dari atas, mulai dari penentuan masalah, pendekatan pemecahan masalah, sampai cara pemecahan masalah yang dipakai;
On-going decision adalah pengambilan keputusan selama proses pembangunan berjalan. Tahap itu sangat kritis, karena sangat berpengaruh terhadap berhasil atau tidaknya pembangunan yang dijalankan. Tahap itu memberi banyak kesempatan kepada anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, seperti perlu atau tidaknya penambahan atau pengurangan kegiatan yang sedang berjalan, dan lain-lain;
Operational decision lebih bersangkut-paut dengan pengorganisasian pelayanan yang didirikan oleh program, bagaimana cara pengoperasiannya, siapa-siapa yang harus mengoperasikan dan memelihara bangunan atau alat yang dihasilkan, prosedur pertemuan, dan lain-lain.
Partisipasi masyarakat dalam implementasi atau pelaksanaan program dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu:
partisipasi dalam kontribusi resources yang dapat berupa tenaga kerja, finansial, bahan-bahan, dan saran-saran atau informasi;
partisipasi dalam kegiatan administratif yang dapat berupa kegiatan pencatatan dan pelaporan serta berbagai kegiatan administratif lainnya; dan
keanggotaan pada suatu kepanitiaan kegiatan sudah pula dianggap sebagai partisipasi mereka dalam kegiatan tersebut.
Bentuk ketiga dari dimensi what ini adalah kemauan masyarakat untuk memanfaatkan hasil pembangunan yang telah dilakukan, disebabkan adanya keuntungan (benefit) yang akan diperoleh masyarakat. Keuntungan tersebut dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu :
keuntungan yang bersifat material yang dapat berupa peningkatan penghasilan, kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, dan sebagainya;
keuntungan yang bersifat sosial yang pada dasarnya adalah keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat secara umum, misalnya adanya puskesmas, sekolah, sarana air bersih, tempat pelayanan lain dalam lingkungan masyarakat tersebut; dan
keuntungan yang bersifat personal yang dapat berupa kepuasan pribadi karena berpartisipasi dalam suatu kegiatan, mendapatkan wewenang atau kekuasaan dari kepartisipasiannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan sebagainya.
Disamping keuntungan yang diperoleh masyarakat atau anggota masyarakat dengan adanya suatu program pembangunan, penting pula dipikirkan adanya dampak negatif dari program tersebut bagi masyarakat. Apabila ada dampak negatif, maka menurut Uphoff dan Cohen, hal itu perlu diperhitungkan dalam analisis partisipasi masyarakat sebagai faktor penghambat.
Bentuk partisipasi keempat, dari dimensi what ini adalah partisipasi masyarakat dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Kesempatan melakukan penilaian jarang sekali diberikan kepada masyarakat, walaupun mereka mampu melakukannya. Umumnya kegiatan tersebut selalu didominasi oleh petugas, dengan alasan bahwa kegiatan itu bersifat terlalu teknis. Mereka melupakan bahwa adanya laporan yang bersifat informal mengenai jalannya kegiatan, tulisan-tulisan dalam surat pembaca dari suatu media massa, dan berbagai bentuk protes lainnya adalah merupakan salah satu petunjuk, bahwa masyarakat mampu dan telah melakukan suatu bentuk penilaian terhadap suatu kegiatan.
Dimensi siapa atau who dalam partisipasi masyarakat sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain, tergantung pada struktur masyarakat setempat. Umumnya dimensi itu dapat diidentifikasikan dalam empat kelompok utama, yaitu: (1) penduduk setempat, (2) pemimpin formal dan informal setempat, (3) petugas pemerintah atau provider, dan (4) tenaga asing (pada beberapa kegiatan yang mendapat pembiayaan dari negara lain).
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa setiap kelompok tersebut mempunyai fungsi dan peran sendiri-sendiri dalam progam pembangunan, sehingga dalam menganalisis partisipasi setiap kelompok perlu diperhatikan siapa dan mengerjakan apa. Mengetahui siapa yang paling banyak berperan dalam kegiatan, merupakan indikator yang penting dalam partisipasi masyarakat. Semakin besar peran anggota masyarakat dalam kegiatan—baik secara kualitatif maupun kuantitatif—menunjukkan semakin tinggi partisipasi masyarakatnya. Namun bila dilihat dari batasan masyarakat yaitu masyarakat merupakan suatu unit of action yang terdiri atas berbagai kelompok tetapi merupakan suatu kesatuan, pembagian kelompok yang terlalu rinci menjadi kurang relevan. Masyarakat merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri atas berbagai kelompok dan strata.
Dimensi bagaimana atau how menunjukkan dalam bentuk apa partisipasi masyarakat tersebut diwujudkan. Dimensi tersebut juga sangat luas, tergantung pada variasi keadaan sosial masyarakat setempat. Uphoff dan Cohen menyebutkan beberapa wujud partisipasi masyarakat dalam suatu program pembangunan. Pertama, dilihat dari latar belakang mengapa masyarakat berpartisipasi, secara sukarela atau karena ada insentif. Kedua, dilihat dari bentuk partisipasi tersebut, tiap individu berpartisipasi secara langsung atau melalui perwakilan. Ketiga, dilihat dari jangkauan partisipasi tersebut, yang meliputi jangka waktu masyarakat berpartisipasi, dan luas kegiatan yang dilakukan. Keempat, dilihat dari efek partisipasi tersebut terhadap individu maupun kelompok, yang dapat berupa peningkatan respek individu, maupun peningkatan interaksi antar anggota masyarakat.
Partisipasi masyarakat dapat diidentifikasi dengan menelaah beberapa komponen partisipasi yang merupakan tahapan kegiatan dalam proses pembangunan hukum yang masyarakat atau anggota masyarakatnya dapat terlibat didalamnya. Tahapan-tahapan tersebut adalah : (1) penelaahan kebutuhan (need assessment), (2) proses perencanaan (planning process), (3) pelaksanaan program (program implementation), (4) pemantauan dan penilaian (monitoring and evaluation), dan (5) pengembangan program (program expansion).
Komponen partisipasi yang dapat dipakai sebagai indikator adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat pada tiap tahapan program pembangunan hukum. Pada dasarnya, komponen tersebut merupakan variabel komposit yang dapat diamati dan diukur. Komponen-komponen tersebut, sebagai berikut :
Pengelolaan program. Yang termasuk dalam komponen ini adalah proses pengambilan keputusan (decision making process), kepemimpinan (leadership) yang erat kaitannya dengan proses pengambilan keputusan dan pengorganisasian (organization);
Kegiatan administrasi (administration). Komponen ini antara lain ditunjukkan melalui kegiatan pencatatan, dan pelaporan berbagai kegiatan yang dilakukan;
Kontribusi. Komponen ini meliputi baik dalam hal waktu, tenaga, finansial, material, maupun ide serta saran (resources contribution or mobilization) untuk terlaksananya kegiatan posyandu;
Pemanfaatan hasil program (utilization of program’s outcome). Komponen ini ditunjukkan melalui seberapa besarnya program pembangunan hukum dimanfaatkan oleh kelompok sasaran; dan
Kegiatan lain yang bertujuan untuk pengembangan dan pendukung program (program improvement and support). Komponen ini menunjukkan aspek kualitatif partisipasi masyarakat karena mengukur berbagai kegiatan inovatif yang bertujuan meningkatkan hasilguna dan daya guna program pembangunan hukum.
Komponen pemantauan dan penilaian mempunyai dua sisi, yaitu sebagai suatu kegiatan dan sebagai suatu tahapan dari suatu program. Sebagai suatu kegiatan, pemantauan dan penilaian dapat dipakai sebagai indikator partisipasi masyarakat, tetapi kegiatan itu erat terkait dengan komponen pengelolaan (manajemen), sehingga pengidentifikasiannya dapat disatukan dalam komponen tersebut.
Konteks partisipasi menunjukkan mengapa masyarakat mau berpartisipasi dalam suatu kegiatan, yang ditunjukkan dalam karakteristik kegiatan tersebut dan latar belakang sosial masyarakat setempat, yang dapat mendorong atau mempengaruhi masyarakat untuk mau atau tidak mau berpartisipasi.
Melalui elaborasi terhadap konsep Uphoff dan Cohen, dapat disimpulkan bahwa adanya partisipasi masyarakat ditunjukkan oleh keterlibatan masyarakat setempat termasuk tokoh masyarakatnya pada setiap tahap kegiatan pembangunan hukum dalam hal :
Proses pengambilan keputusan;
Proses pelaksanaan program yang dapat berupa kontribusi sumber daya (resources) dalam wujud tenaga, finansial, serta kegiatan administratif; dan
Proses pemanfaatan hasil program.
Ter Haar Bzn
Dalam teorinya tentang keputusan (beslissingenleer) dikemukakan bahwa keputusan yang diambil atau dilakukan oleh warga masyarakat atau pejabat-pejabat hukum, harus dilihat sebagai kaidah hukum individual atau kongkrit, yang menyimpulkan kaidah hukum umum yang berlaku bagi kasus-kasus yang sama.
4. Kerangka Konsep
Suatu kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.
Didalam ilmu-ilmu sosial, konsep-konsep tersebut sebaiknya diambil dari teori (apabila ada), atau mungkin dari hasil suatu pengamatan (observasi).
Suatu kerangka konsep pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsep kadang-kadang dirasakan masih juga bersifat abstrak, sehingga masih diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat menjadi pegangan kongkrit didalam proses penelitian. Sehingga dengan demikian, selain terdiri dari konsep konsep, suatu kerangka konsep dapat pula mencakup definisi-definisi operasional.
4.1. Pengertian Masyarakat
Terminologi masyarakat yang sering dipergunakan umum mencakup tiga komponen, yaitu : (1) kelompok individu yang hidup dalam satu wilayah tertentu, (2) adanya hubungan antar individu di luar rumah tangga yang bersifat hubungan sosial dan saling membantu, serta (3) adanya kesamaan norma dan nilai sehingga menimbulkan rasa solidaritas dan kegiatan bersama (Greenblat, 1981). Batasan itu menonjolkan lokalitas bersama, dan jaringan hubungan antara anggota masyarakat, tetapi tidak menunjukkan adanya dinamika dari suatu masyarakat, padahal masyarakat itu selalu berkembang walaupun kecepatan perkembangan tersebut berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Berbagai batasan tersebut tidak menunjukkan adanya dinamika masyarakat dan perbedaan peran tiap anggota masyarakat. Pandangan para ahli yang terlibat dalam pengembangan masyarakat, menambah batasan tersebut dengan indikator adanya kemampuan para anggotanya dalam mengorganisasikan kelompok mereka sedemikian rupa, sehingga kelompok tersebut mampu menanggulangi setiap perubahan dan situasi yang meengancam kebersamaan dan stabilitas mereka. Pengorganisasian tersebut menimbulkan stratifikasi dari anggota masyarakat sehingga terjadi suatu pola hubungan tertentu antar anggotanya yang mencegah terjadinya pertentangan antara satu individu dengan individu lainnya dalam upayanya mencapai tujuan bersama (Clelland, 1974; Greenblat, 1981).
Stratifikasi juga menunjukkan posisi tiap anggota masyarakat dalam struktur kemasyarakatan yang dihubungkan dengan tanggung jawab mereka, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Kegiatan tersebut akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan dari masyarakat tersebut (Bates & Julian, 1975). Di samping itu masyarakat juga selalu berubah. Perubahan tersebut tidak hanya pada jumlah anggotanya saja, tetapi menyangkut juga perubahan kebutuhan berdasarkan berbagai pengalaman tiap anggota masyarakat.
Konsep terakhir tersebut menunjukkan adanya usaha pencapaian kebutuhan masyarakat secara mandiri yang selalu berubah mengikuti berbagai pengalaman masyarakat itu (Upgalde, 1985). Konsep itu juga lebih cocok dipakai dalam studi yang bertujuan untuk menganalisis partisipasi masyarakat sebagai suatu proses dinamis. Batasan tersebut juga telah mencakup kedua pengertian yang disebut terdahulu, disamping juga mendukung kenyataan bahwa masyarakat bukanlah penerima pasif dari suatu kegiatan, melainkan merupakan mitra kerja dalam setiap kegiatan pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menelaah partisipasi masyarakat perlu diperhatikan peran masing-masing anggota masyarakat yang ikut terlibat dalam proses pembangunan, termasuk bagaimana peran tersebut dilaksanakan (Uphoff, et al, 1979)
4.2. Pengertian Partisipasi
Istilah partisipasi (participation) atau partisipasi atau juga mempunyai arti yang luas. Sering istilah tersebut diasumsikan hanya sebagai ‘kontribusi’ finansial, material, dan tenaga dalam suatu program. Kadang juga diberi pengertian sebagai self-help, self reliance, cooperation dan local autonomy dimana istilah-istilah tersebut kurang menggambarkan apa yang dimaksud dengan partisipasi itu sendiri. Self-help, self reliance dan local autonomy menggambarkan kondisi akhir yang diharapkan dari suatu program yang memakai pendekatan partisipatif. Cooperation menunjukkan cara bagaimana partisipasi masyarakat diimplementasikan pada suatu kegiatan atau program.
Bank dunia (1978) memberi batasan partisipasi masyarakat sebagai: “…the involvement of all those affected in decision making about what should be done and how, mass contribution to the development effort i.e. to the implementation of the decision, and sharing in the benefits of the programme.”
Batasan itu mengandung tiga pengertian : (1) keterlibatan masyarakat yang terkena dampak pengambilan keputusan tentang hal-hal yang harus dikerjakan dan cara mengerjakannya, (2) keterlibatan tersebut berupa kontribusi dari masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan, dan (3) bersama-sama memanfaatkan hasil program sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan dari program tersebut (Rifkin, 1990).
Dari beberapa pengertian tentang masyarakat dan partisipasi masyarakat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud partisipasi masyarakat dalam porgram pembangunan adalah:
“Suatu proses keterlibatan yang bertanggungjawab dalam suatu kegiatan dari suatu kelompok individu yang merupakan suatu unit kegiatan (unit of action) dalam proses pengambilan keputusan, kontribusi dalam pelaksanaannya dan pemanfaatan hasil kegiatan, sehingga terjadi peningkatan kemampuan kelompok tersebut dalam mempertahankan perkembangan yang telah dicapai secara mandiri.”
Dalam operasionalisasinya, batasan-batasan tersebut perlu dijelaskan bagaimana dan dengan cara apa proses tersebut berlangsung, kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan dan seberapa jauh kegiatan tersebut dilakukan sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan indikator dan pengukurannya.
4.3. Pengertian Partisipasi Masyarakat
Dalam pengertian partisipasi tercakup dua sistem yang terlibat dalam suatu kegiatan. Kedua sistem itu adalah sistem dari pemerintah yang merupakan provider di pihak kesatu, dan dengan sistem dari masyarakat di pihak lain. Kedua pihak secara fungsional sering mempunyai karakteristik dan pandangan yang sangat berbeda dalam konteks partisipasi. Berdasar pandangan bahwa program pengembangan masyarakat adalah sama dengan pengembangan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin (rural poor community). Pandangan ini sering ada pada sudut pandang pemerintah atau provider, partisipasi masyarakat seolah-olah merupakan kewajiban yang harus diadakan oleh ‘masyarakat yang mendapat bantuan’. Dalam keadaan tersebut, masyarakat tidak mempunyai otoritas terhadap kegiatan karena semuanya telah ‘diatur’ dan ‘dijadwal’ oleh pemberi kegiatan.
Di pihak lain, masyarakat menyatakan bahwa program pengembangan itu dapat pada siapa saja, tidak peduli apakah kelompok sasaran tersebut merupakan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin ataupun kelompok masyarakat di kota yang sudah cukup dari segi sosial ekonomi. Pendapat itu menganggap bahwa partisipasi merupakan hak dari masyarakat. Masyarakat boleh menggunakan atau tidak menggunakan ‘hak’ tersebut dalam suatu kegiatan yang diadakan oleh pemberi kegiatan. Apabila pemberi kegiatan menginginkan partisipasi masyarakat, diperlukan suatu pendekatan tertentu untuk mendapatkannya (Arnstein, 1969).
Peter Oakley dan David Marsden (1985) juga menyimpulkan bahwa banyaknya variasi dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat disebabkan oleh setiap batasan menonjolkan dimensi yang berbeda dari partisipasi masyarakat. Satu pendapat menyatakan bahwa jika ada keterlibatan dari masyarakat, bagaimanapun bentuk dan prosesnya, maka dikatakan bahwa masyarakat telah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Hal itu memang tidak keliru tetapi masih kurang tepat karena hanya melihat aspek kuantitatif dari partisipasi. Implementasi pendapat itu sering berupa mobilisasi sumber daya masyarakat dalam suatu kegiatan tanpa masyarakat tahu apa tujuan kegiatan tersebut dan keuntungan apa yang akan diperoleh dengan keterlibatannya.
Batasan lain menyatakan bahwa secara konseptual, partisipasi terjadi apabila telah ada pembagian ulang kekuasaan (redistribution of power) dalam menentukan pelaksanaan kegiatan tersebut antara penyedia kegiatan (provider) dengan mayarakat (Arnstein, 1969). Namun peneliti lain menyatakan bahwa ‘wewenang dalam pengambilan keputusan’ hanyalah salah satu komponen dari yang disebut sebagai partisipasi. Kontribusi tenaga kerja, material dan finansial juga merupakan komponen dari partisipasi di samping komponen lainnya (Uphoff & Cohen, 1979).
Penulis lain mengatakan, dalam menentukan partisipasi masyarakat, tidak perlu melihat dalam bentuk apa partisipasi masyarakat tersebut tampak, tetapi menitikberatkan pada apa yang seharusnya dicapai pada akhir suatu kegiatan dengan partisipasi, yaitu meningkatnya kemampuan masyarakat dalam membuat keputusan dan tanggung jawabnya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pelaksanaannya. Pendapat itu memandang partisipasi hanyalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu (participation as a means) sehingga analisis lebih memberi kesan ke arah identifikasi keluaran (output) partisipasi masyarakat, dan bukan pada pengertian partisipasi masyarakat itu sendiri (Askew, 1989).
4.4. Pengertian Pembangunan Hukum
Pembangunan Hukum dan perundang-undangan dimaksudkan sebagai upaya menciptakan sistem hukum dan produk hukum yang mengayomi dan memberikan landasan hukum bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Kesadaran hukum yang makin meningkat dan makin lajunya pembangunan menuntut terbentuknya sistem hukum nasional dan produk hukum. Pembangunan hukum selanjutnya masih perlu memperhatikan peningkatan pemasyarakatan hukum, peningkatan pelaksanaan penegakan hukum secara konsisten dan konskekuen, peningkatan aparat hukum yang berkualitas dan bertanggungjawab, serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai (GBHN, 1999).
5. Tujuan Penelitian
Mengidentifikasikan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan
Mengidentifikasikan indikator-indikator yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian terhadap keberhasilan penyusunan peraturan daerah
Mengidentifikasikan upaya-upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah.
6. Signifikansi Penelitian
6.1. Signifikansi Teoritis
Mendorong penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang sama maupun masalah lain yang ada pada kabupaten/kota dan hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan tentang partisipasi masyarakat kabupaten/kota dalam proses penyusunan peraturan-peraturan daerah.
6.2. Signifikansi Praktis
Bagi para pembuat kebijakan, penelitian ini berguna untuk :
Membuat perencanaan penyusunan peraturan-peraturan daerah yang lebih berorientasi kepada optimalisasi partisipasi masyarakat;
Menganalisis maupun mengevaluasi partisipasi masyarakat yang tumbuh dalam masyarakat pada penyusunan peraturan-peraturan daerah yang telah berjalan; dan
Mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk pengembangan maupun perbaikan pada tahap selanjutnya.
7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Guna memenuhi tujuan penelitian yang telah dikemukakan, penelitian ini dirancang sebagai penelitian dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini dilakukan dilakukan melalui suatu tahapan eksploratif, yang bertujuan mengidentifikasi indikator partisipasi masyarakat pada penyusunan peraturan-peraturan daerah yang mencakup dua kegiatan utama, yaitu :
a. telaah dokumen dan kepustakaan, untuk mendapatkan gambaran mengenai penyusunan peraturan daerah dan menentukan variabel-variabel tentatif yang dapat dipakai sebagai indikator dari partisipasi masyarakat; dan
b. studi di lapangan, yang bertujuan untuk mengidentifikasikan apakah indikator tentatif telaah kepustakaan tersebut memang terdapat dalam penyusunan peraturan daerah yang dilaksanakan oleh masyarakat. Bila kegiatan tersebut dilakukan, dalam bentuk apakah wujud kegiatan tersebut. Dari melihat wujud kegiatan, kemudian dapat ditentukan karakteristik dan dimensi tiap indikator.
1.7.2. Identifikasi Variabel variabel
Sebagai hasil akhir penelaahan kepustakaan dan studi di lapangan, teridentifikasikan variabel-variabel utama yang akan dilibatkan dalam penelitian (Suryabrata: 1992). Dalam penelitian ini, variabel-variabel itu merupakan variabel komposit yang dapat diamati dan diukur yaitu dalam bentuk komponen-komponen partisipasi yang dipergunakan juga dipakai sebagai indikator. Komponen-komponen tersebut adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat pada tiap tahapan kegiatan penyusunan peraturan daerah.
1.7.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah Pemerintah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan terdapatnya variasi pada status sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian, oleh karena lokasi penelitian merupakan daerah yang baru berkembang (urbanized—transisi dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan), sehingga pada akhirnya dari hasil penelitian diharapkan diperoleh gambaran tingkat partisipasi masyarakat pada penyusunan peraturan-peraturan daerah (khususnya program posyandu) di Kelurahan Sukahati tersebut.
1.7.4. Pengumpulan data
Pada dasarnya, pengolahan, analisis dan konstruksi data dapat dilakukan secara kualitatif dan atau secara kuantitatif dan merupakan dua cara yang saling melengkapi, oleh karena kedua cara tersebut mempunyai keuntungan dan kelemahan masing-masing. (Soekanto: 1986)
Peneliti kuantitatif biasanya tidak puas dengan hasil analisis statistik, misalnya oleh karena ternyata hasilnya tidak memuaskan karena tidak terdapat hubungan. Untuk itu ia lalu mengadakan wawancara mendalam (in-depth interview) untuk melengkapi penelitiannya. Dengan kata lain, peneliti kuantitatif tersebut menggunakannya secara bersama-sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedua pendekatan tersebut dapat digunakan apabila desainnya memanfaatkan satu paradigma sedangkan paradigma lainnya hanya sebagai pelengkap saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Glaser dan Strauss dalam Moleong (2001: 22), yaitu dalam banyak hal, kedua bentuk data tersebut diperlukan, bukan kuantitatif menguji kualitatif, melainkan kedua bentuk tersebut digunakan bersama dan apabila dibandingkan masing-masing dapat digunakan untuk keperluan menyusun teori.

DAFTAR PUSTAKA
Arnstein, Sherry R. (1969) A Ladder of Citizen Participation, American Institute of Planners Journal.
Askew, I (1989) Organizing Community Participation in Family Planning Projects in South Asia. Study on Family Planning.
Bates, Alan P. and Julian, J. (1975) Sociology. Understanding Social Behavior. Boston: Houghton Mufflin Co.
Clark, John. (1995) “The State, Popular Participation, and the Voluntary Sector.” World Development 23, No. 4.
Cohen, John M. dan Norman T. Uphoff dalam Ibnu Syamsi. (1986) Pokok-pokok Kebijaksanaan, Perencanaan, Pemrograman dan Penganggaran Pembangunan Tingkat Nasional dan Regional. Jakarta: Rajawali.
Cohen, John M. dan Norman T. Uphoff. (1980) “Participation’s Place in Rural Development: Seeking Clarity Through Specificity.” Dalam World Development
Clelland, Donal A. (1974) Social Stratification. In The Study of Society. Whitten and O’Connel (eds). Guildford Connecticut: The Dushkin Publishing Group, Inc.
Friedmann, John. (1992) Empowerment—The Politics Alternative Development. Cambridge: Blackwell Publishers.
Greenblat, C.S. (1981) Social Structure. Chapter IV. In An Introduction to Sociology. New York: Alfred A. Konpf. Inc
Korten, David C. (1984), People Centered Development Contributions Toward Theory and Planning Frameworks, terjemahan A. Setiawan Abadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, Lexy J. (1999) Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakadya.
Oakley, Peter dan David Marsden. (1984) Approaches to Participation in Rural Development. Geneva: ILO.
Peters, A.A.G; Siswosoebroto, Koesriani. (1990), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku I, II dan III. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rahardjo, Satjipto. (2000). Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Ranawijaya, Usep. (1983) Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rifkin, SB; F. Muller; W. Bichman. (1988) Primary Health Care: on Measuring Participation. Social Science and Medicine. 26(9): 931-940
Sekretariat Negara (1999) Garis-garis Besar Haluan Negara. Jakarta: Sekretariat Negara Publishing.
Soekanto, Soerjono. (1986) Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Soekanto, Soerjono; Mamudji, Sri. (2001), Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Suryabrata, Sumadi. (1992) Metodologi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali.
Sunter, 29 Desember 2003