Posted by Zuryawan Isvandiar Zoebir
pada 13 Agustus, 2008
Zuryawan Isvandiar Zoebir, Mahasiswa
Magister Ilmu Hukum, Universitas Jayabaya, Jakarta, NPM. 200201026230
Tulisan ini merupakan Proposal Penelitian Hukum
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH
(Identifikasi Indikator-indikator
Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Daerah di Kabupaten Bogor,
Propinsi Jawa Barat)
1. Identifikasi Masalah
Partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan (daerah) merupakan salah satu syarat
mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini,
telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan
pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Contoh kasus, dari sekian banyak program pembangunan bidang hukum
di Kabupaten Bogor yang menyangkut isu sentral: penyusunan produk-produk hukum
daerah, sosialisasi produk-produk hukum daerah, serta penegakkan produk-produk
hukum daerah ternyata implementasinya di lapangan dianggap gagal (Pakuan,
2002).
Sedikit
sekali keberhasilan yang “dinikmati” warga masyarakat, kecuali hanya sebatas
dalam bentuk fisik produk-produk hukum daerah belaka. Pembangunan hukum daerah
dalam implementasinya ternyata telah dilakukan tanpa mengubah secara signifikan
hal-hal substansial peningkatan derajat penghargaan masyarakat terhadap
produk-produk hukum daerah, dalam hal ini peraturan-peraturan daerah. Terlihat
sangat ironis, dan contoh kasus ini sekaligus menunjukkan sangat dominannya top-down
policy pemerintah (daerah) dalam pembangunan di bidang hukum. Jika saja
partisipasi masyarakat dioptimalkan keterlibatannya sejak awal perencanaan dan
pelaksanaan program, serta institusi pemerintah daerah terkait dilibatkan
secara benar, maka hampir dapat dipastikan upaya-upaya tersebut akan membuahkan
hasil yang lebih baik serta mendekati sasaran yang diharapkan.
Proses
pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi program pembangunan
(hukum) di tingkat daerah (local), terbukti telah berhasil membawa
perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan kesadaran (hukum) masyarakat
(Clark,1995: 595; Friedmann, 1992: 161). Pembangunan hukum yang lebih
berorientasi kepada masyarakat, yang tercermin melalui pengoptimalan
keterlibatan masyarakat dalam rangkaian penyusunan peraturan daerah tertentu,
perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah) sebagai strategi yang tepat
untuk menggalang militansi kesadaran masyarakat terhadap ketaatan pelaksanaan
ketentuan-ketentuan hukum. Pada gilirannya nanti, strategi ini mampu berperan
secara nyata dalam meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan
peraturan-peraturan daerah. Keyakinan itu perlu terus ditanamkan, terutama
dalam diri aparatur yang secara fungsional menangani proses-proses penyusunan
peraturan-peraturan daerah pada pemerintah kabupaten/kota.
Selanjutnya,
hal terpenting dan menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya
dalam usaha-usaha yang nyata. Upaya-upaya ke arah tersebut tentu tidak secara
serta merta dapat terwujud dan tidak semudah seperti membalikkan telapak
tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan menghabiskan
banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang
memiliki integritas dan hati nurani yang jernih. Karena dalam pelaksanaannya di
masyarakat, aparatur akan sangat banyak dituntut menggunakan mekanisme
komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan penuh kesabaran, dan
sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda.
Di
masa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam
perencanaan hingga pengimplementasian program pembangunan hukum didaerahnya,
sedangkan kelompok luar yaitu NGO hanya akan bertindak sebagai
fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator, serta peran
pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan penunjang termasuk menentukan
aturan dasar permainannya (Friedmann,1992:161). Bagi aparatur pemerintah, NGO
maupun masyarakat, implementasi program-program pembangunan harus dianggap
sebagai suatu proses pembelajaran (hukum) (Clark,1995: 595), melalui
proses evaluasi terhadap segala hal yang telah dicapai dalam implementasi
peraturan-peraturan daerah, serta mempelajari berbagai kendala yang dihadapi.
Perubahan mendasar tampaknya sangat perlu dilakukan disini, oleh karena keadaan
nyata (existing condition) yang terjadi pada hampir seluruh pemerintah
daerah, seperti peran-peran kontributor, fasilitator, dinamisator, katalisator,
mediator dan komunikator penyusunan konsep-konsep dan ide-ide pembangunan
seperti yang kerap kita baca pada media-massa, seringkali dominan berada pada
pemerintah (daerah). Proses pembelajaran yang seyogyanya terjadi pada
implementasi program pembangunan hukum daerah tidak pernah terjadi, bahkan yang
terjadi adalah secara tidak sadar pemerintah telah melakukan hal-hal
sebaliknya, yaitu upaya-upaya sistematis pembodohan masyarakat yang dilakukan
melalui peraturan-peraturan daerah yang telah disusun bersama-sama dengan
legislatif daerah.
Jika
diperhatikan dengan seksama, prosedur penyusunan program pembangunan bidang
hukum yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya
berniat mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat. Proses tersebut
dilakukan melalui tahapan-tahapan logik yang dimulai dari tingkat
desa/kelurahan yaitu kegiatan musyawarah pembangunan desa/kelurahan, kemudian
dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah kerja pembangunan,
demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang melibatkan
lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mekanisme yang cukup baik tersebut
tetap dinilai kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya
diinginkan masyarakat.
Seperti
yang telah dikemukakan di atas, kesalahan utama tentu akan dialamatkan kepada
tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh metode-metode partisipatif oleh
aparatur yang terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program
pembangunan hukum kepada masyarakat. Jika dilakukan secara benar, penerapan mekanisme
tersebut memastikan terjadinya identifikasi yang menyeluruh dan mendalam hingga
ke tingkat akar rumput (grassroots) terhadap produk-produk hukum yang
sesungguhnya dibutuhkan masyarakat, walaupun upaya ini harus dilakukan setelah
terlebih dulu melalui proses-proses yang menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Lebih
jauh, Korten (1988: 64) mengidentifikasikan banyaknya faktor yang
ditemukan dan turut memperburuk citra kinerja penyusunan program pembangunan
(dalam hal ini bidang hukum) antara lain yang dianggap dominan adalah faktor
kekurang-keterbukaan aparatur pemerintah (daerah) terhadap masyarakat dalam
proses tersebut. Akumulasi kondisi seperti ini selama berpuluh-puluh tahun
telah menyebabkan perasaan apriori masyarakat menumpuk, sehingga seperti
yang sering kita lihat, telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak
langsung kepada kurangnya intensitas partisipasi masyarakat dalam program
pembangunan.
Jika
kita tidak mau belajar dan tidak mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin,
maka setelah mencapai titik jenuh, pada saatnya keadaan ini berpotensi menjadi
gerakan yang destruktif sebagai reaksi terhadap dominasi yang berlebihan
dari pemerintah (daerah), serta dianggap merupakan pemaksaan
program-program pembangunan kepada masyarakat. Adanya kekhawatiran pemerintah
(daerah) dengan alasan akan sulitnya mengakomodasikan keinginan masyarakat yang
begitu banyak jika dilakukan transparansi seluas mungkin kepada masyarakat,
harus sudah mulai ditinggalkan dan harus dianggap sebagai suatu konsekuensi
logis dan buah dari kekurangtepatan orientasi program pembangunan yang
dilakukan selama ini. Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur pemerintah
terhadap kondisi-kondisi yang telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama
tentu harus dimaknai sebagai suatu rangkaian dari keseluruhan proses
pembelajaran.
Proses
partisipasi masyarakat dalam rangkaian penyusunan program pembangunan hukum,
secara implisit mengandung makna terdapatnya faktor inisiatif yang berasal dan
berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah hanya
bertindak sebagai penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal
ini aparatur pemerintah (daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta
kemampuan untuk dapat memberi respon terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal
dari tingkat bawah, daripada menonjolkan kepentingan mereka sendiri atau
berdalih demi menjaga kewibawaan pemerintah (daerah).
Dalam
kenyataan, inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan
untuk memperoleh perhatian dan tanggapan, mereka terpaksa mengambil jalan
pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran hukum, misalnya dengan
melakukan pengrusakan ataupun pembakaran.
Pada
hakikatnya partisipasi masyarakat di bidang pembangunan hukum mengandung makna
agar masyarakat lebih berperan dalam proses tersebut, mengusahakan penyusunan
program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up),
dengan pendekatan memperlakukan manusia sebagai subyek dan bukan obyek
pembangunan. Hal ini dipertegas oleh Eldridge (1995:17) “participation means
a shift in decision making power from more powerful to poor, disadvantages, and
less influential groups.” Keberdayaan rakyat merupakan kemampuan dan
kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan, baik yang menyangkut penentuan nasib sendiri
maupun perubahan diri sendiri atas dasar kekuatan sendiri sebagai faktor
penentu.
2. Permasalahan
Partisipasi
masyarakat dalam pembangunan sering hanya dipandang sebagai suatu pendekatan (approach)
dan bukan sebagai tujuan (objective) (Rifkin,1988: 931-940). Sebagai
pendekatan maka partisipasi masyarakat hanya dijadikan sarana untuk mencapai
tujuan tertentu (as a means), sehingga studi-studi yang dilakukan
acapkali berputar-putar disekitar bagaimana menumbuhkan dan melaksanakan
partisipasi tersebut daripada studi mengenai bagaimana menganalisis
partisipasi masyarakat itu sendiri, yaitu dengan cara melihat atau menelaah
partisipasi masyarakat sebagai tujuannya sendiri (as an end in it self).
Namun
demikian cara pandang atau konsepsi analisis partisipasi masyarakat sebagai
sebuah tujuan, masih tetap menyisakan kelemahan. Indikator dan pengukuran yang
digunakan dalam telaah partisipasi masyarakat seringkali tidak mampu
menunjukkan sosok partisipasi itu sendiri. Keadaan ini menyebabkan partisipasi
masyarakat acapkali diterjemahkan hanya sebagai kontribusi tenaga dan finansial
masyarakat dalam program pembangunan, sehingga keterlibatan masyarakat dianggap
terbatas hanya dalam tahap implementasi/pelaksanaan program saja. Segala bentuk
perencanaan dan pengambilan keputusan awal telah dilakukan di tingkat yang
lebih atas, sehingga masyarakat hanya tinggal melaksanakannya saja. Dengan
demikian, kesempatan masyarakat untuk dapat berkontribusi pada program tersebut
hanya tersisa pada bentuk kontribusi finansial dan tenaga kerja pada tataran
implementasi.
Permasalahan
partisipasi masyarakat pada akhirnya bukan hanya sekedar bagaimana pentingnya
partisipasi masyarakat dalam program pembangunan, tetapi juga pada telaah
mengenai partisipasi itu sendiri melalui pembuatan model atau construct
partisipasi. Jika terjadi suatu persamaan persepsi mengenai partisipasi
masyarakat, maka dapat diususun indikator-indikator yang relatif ideal, yang
dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan penilaian perkembangan
partisipasi masyarakat dalam berbagai program pembangunan hukum daerah.
Analisis dan pengukurannya tidak cukup hanya dengan melihat ada atau tidaknya
partisipasi tersebut, namun perlu pula dilihat derajat atau tingkat partisipasi
masyarakat, kelompok individu atau perorangan di dalam masyarakat tersebut
(Eng, et. Al, 1986).
Berdasarkan
uraian tersebut, maka permasalahan utama dari penelitian ini akan difokuskan
pada : bagaimana menyusun sebuah telaah terhadap indikator derajat/tingkat
partisipasi masyarakat agar mampu menunjukkan sosok partisipasi itu sendiri,
sehingga partisipasi masyarakat dapat diakui sebagai faktor yang memberi
kontribusi positif terhadap keberhasilan program pembangunan di bidang hukum, khususnya
dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah.
Secara lebih spesifik, permasalahan
penelitian dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan berikut :
Apa
saja bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam program pembangunan di bidang
hukum, khususnya dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
Apa
saja indikator-indikator ideal yang dapat dipergunakan sebagai sarana
pemantauan dan penilaian perkembangan partisipasi masyarakat dan upaya
peningkatan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan hukum, khususnya
dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?; dan
Apa
saja upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam melakukan peningkatan partisipasi
masyarakat dalam penyusunan peraturan-peraturan daerah?
3.
Kerangka Teori
Teori
adalah suatu cara untuk mengklasifikasikan fakta, sehingga seluruh fakta
tersebut dapat dipahami sekaligus (Zanden, 1979). Kerangka teori sangat
bermanfaat bagi suatu penelitian, yaitu :
mempertajam
atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
mengembangkan
sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan
definisi-definisi;
merupakan
suatu ikhtisar dari hal-hal yang sudah diketahui serta diuji kebenarannya yang
menyangkut obyek yang diteliti;
memberikan
kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui
sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan
timbul lagi pada masa-masa mendatang;
memberikan petunjuk-petunjuk
terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.
Sherry R. Arnstein
Menurut
Arnstein (1969), adanya partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan oleh
terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power)
antara penyedia kegiatan dan kelompok masyarakat penerima kegiatan. Partisipasi
masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan
tanggungjawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi
peserta tersebut kemudian digambarkan sebagai sebuah tangga dengan delapan
tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut :
TANGGA DERAJAT PARTISIPASI DARI
ARNSTEIN
(Arnstein’s Ladder of Citizen
Participation) :
Penguasaan Masyarakat à Tingkat
Penguasaan Masyarakat
Delegasi Wewenang
Kemitraan
Plakasi à Tingkat Tokenisme
Konsultasi
Pemberian Informasi
Terapi à Tingkat non-Partisipatif
Manipulasi
Gradasi
terendah adalah tingkatan yang masyarakatnya hanya ramai-ramai
diikutsertakan dalam kegiatan tanpa diberi wewenang untuk menolak atau memberi
saran, dan tanpa tahu keuntungan apa bagi mereka (non-participation),
meningkat ke gradasi penyertaan wakil masyarakat dalam kepanitiaan,
tetapi hanya berfungsi sebagai tukang stempel tanpa mempunyai kekuasaan
dalam memutuskan sesuatu karena akan kalah suara (degree of tokenism),
sampai ke gradasi pengendalian total dari kegiatan mulai dari awal
sampai akhir oleh masyarakat (degree of citizen control).
John M. Cohen dan Norman T. Uphoff
Membagi
partisipasi masyarakat kedalam dua elemen yang saling bertautan satu sama lain,
yaitu dimensi partisipasi dan konteks partisipasi. Dimensi
partisipasi menjelaskan tentang apa yang dilakukan dalam kegiatan (what
dimension), dan bagaimana partisipasi tersebut berjalan (how dimension).
Konteks partisipasi menunjukkan latar belakang teknis dari program, dan
latar belakang sosial masyarakat yang dapat mempengaruhi timbulnya partisipasi
tersebut.
Partisipasi
pada dimensi what dapat terjadi dalam empat langkah proses pelaksanaan
suatu program yaitu:
partisipasi dalam proses pengambilan
keputusan;
partisipasi dalam implementasi/
pelaksanaan program;
partisipasi dalam pemanfaatan hasil
program; dan
partisipasi dalam penilaian.
Partisipasi
dalam proses pengambilan keputusan
merupakan hal yang sangat penting, karena pada tahap itu masyarakat sering
terabaikan. Program kegiatan langsung turun dalam bentuk jadi sehingga
masyarakat tinggal melaksanakan saja, tanpa ada kesempatan untuk memberi
masukan dan lain sebagainya. Menurut Uphoff dan Cohen, ada tiga jenis proses
pengambilan keputusan, yakni:
Initial
decision merupakan proses pengambilan
keputusan pada tahap perencanaan program kegiatan. Seringkali anggota
masyarakat tidak disertakan pada proses pengambilan keputusan pada tahap itu
karena umumnya program telah ditentukan dari atas, mulai dari penentuan
masalah, pendekatan pemecahan masalah, sampai cara pemecahan masalah yang
dipakai;
On-going
decision adalah pengambilan keputusan selama
proses pembangunan berjalan. Tahap itu sangat kritis, karena sangat berpengaruh
terhadap berhasil atau tidaknya pembangunan yang dijalankan. Tahap itu memberi
banyak kesempatan kepada anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan, seperti perlu atau tidaknya penambahan atau pengurangan
kegiatan yang sedang berjalan, dan lain-lain;
Operational
decision lebih bersangkut-paut dengan
pengorganisasian pelayanan yang didirikan oleh program, bagaimana cara
pengoperasiannya, siapa-siapa yang harus mengoperasikan dan memelihara bangunan
atau alat yang dihasilkan, prosedur pertemuan, dan lain-lain.
Partisipasi
masyarakat dalam implementasi atau pelaksanaan program dapat dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu:
partisipasi
dalam kontribusi resources yang dapat berupa tenaga kerja, finansial,
bahan-bahan, dan saran-saran atau informasi;
partisipasi
dalam kegiatan administratif yang dapat berupa kegiatan pencatatan dan
pelaporan serta berbagai kegiatan administratif lainnya; dan
keanggotaan
pada suatu kepanitiaan kegiatan sudah pula dianggap sebagai partisipasi mereka
dalam kegiatan tersebut.
Bentuk
ketiga dari dimensi what ini adalah kemauan masyarakat untuk
memanfaatkan hasil pembangunan yang telah dilakukan, disebabkan adanya
keuntungan (benefit) yang akan diperoleh masyarakat. Keuntungan tersebut
dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu :
keuntungan
yang bersifat material yang dapat berupa peningkatan penghasilan, kemudahan
dalam mendapatkan pelayanan, dan sebagainya;
keuntungan
yang bersifat sosial yang pada dasarnya adalah keuntungan yang dirasakan oleh
masyarakat secara umum, misalnya adanya puskesmas, sekolah, sarana air bersih,
tempat pelayanan lain dalam lingkungan masyarakat tersebut; dan
keuntungan yang bersifat personal
yang dapat berupa kepuasan pribadi karena berpartisipasi dalam suatu kegiatan,
mendapatkan wewenang atau kekuasaan dari kepartisipasiannya, meningkatkan rasa
percaya diri, dan sebagainya.
Disamping
keuntungan yang diperoleh masyarakat atau anggota masyarakat dengan adanya
suatu program pembangunan, penting pula dipikirkan adanya dampak negatif dari
program tersebut bagi masyarakat. Apabila ada dampak negatif, maka menurut
Uphoff dan Cohen, hal itu perlu diperhitungkan dalam analisis partisipasi
masyarakat sebagai faktor penghambat.
Bentuk
partisipasi keempat, dari dimensi what ini
adalah partisipasi masyarakat dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Kesempatan
melakukan penilaian jarang sekali diberikan kepada masyarakat, walaupun mereka
mampu melakukannya. Umumnya kegiatan tersebut selalu didominasi oleh petugas,
dengan alasan bahwa kegiatan itu bersifat terlalu teknis. Mereka melupakan
bahwa adanya laporan yang bersifat informal mengenai jalannya kegiatan,
tulisan-tulisan dalam surat pembaca dari suatu media massa, dan berbagai bentuk
protes lainnya adalah merupakan salah satu petunjuk, bahwa masyarakat mampu dan
telah melakukan suatu bentuk penilaian terhadap suatu kegiatan.
Dimensi
siapa atau who dalam partisipasi masyarakat sangat bervariasi dari satu
daerah dengan daerah lain, tergantung pada struktur masyarakat setempat.
Umumnya dimensi itu dapat diidentifikasikan dalam empat kelompok utama, yaitu:
(1) penduduk setempat, (2) pemimpin formal dan informal setempat, (3) petugas
pemerintah atau provider, dan (4) tenaga asing (pada beberapa kegiatan
yang mendapat pembiayaan dari negara lain).
Sebagaimana
telah disebutkan, bahwa setiap kelompok tersebut mempunyai fungsi dan peran
sendiri-sendiri dalam progam pembangunan, sehingga dalam menganalisis
partisipasi setiap kelompok perlu diperhatikan siapa dan mengerjakan apa.
Mengetahui siapa yang paling banyak berperan dalam kegiatan, merupakan indikator
yang penting dalam partisipasi masyarakat. Semakin besar peran anggota
masyarakat dalam kegiatan—baik secara kualitatif maupun kuantitatif—menunjukkan
semakin tinggi partisipasi masyarakatnya. Namun bila dilihat dari batasan
masyarakat yaitu masyarakat merupakan suatu unit of action yang terdiri
atas berbagai kelompok tetapi merupakan suatu kesatuan, pembagian kelompok yang
terlalu rinci menjadi kurang relevan. Masyarakat merupakan suatu kesatuan utuh
yang terdiri atas berbagai kelompok dan strata.
Dimensi
bagaimana atau how menunjukkan dalam
bentuk apa partisipasi masyarakat tersebut diwujudkan. Dimensi tersebut juga
sangat luas, tergantung pada variasi keadaan sosial masyarakat setempat. Uphoff
dan Cohen menyebutkan beberapa wujud partisipasi masyarakat dalam suatu program
pembangunan. Pertama, dilihat dari latar belakang mengapa masyarakat
berpartisipasi, secara sukarela atau karena ada insentif. Kedua, dilihat
dari bentuk partisipasi tersebut, tiap individu berpartisipasi secara langsung
atau melalui perwakilan. Ketiga, dilihat dari jangkauan partisipasi
tersebut, yang meliputi jangka waktu masyarakat berpartisipasi, dan luas
kegiatan yang dilakukan. Keempat, dilihat dari efek partisipasi tersebut
terhadap individu maupun kelompok, yang dapat berupa peningkatan respek
individu, maupun peningkatan interaksi antar anggota masyarakat.
Partisipasi
masyarakat dapat diidentifikasi dengan menelaah beberapa komponen partisipasi
yang merupakan tahapan kegiatan dalam proses pembangunan hukum yang masyarakat
atau anggota masyarakatnya dapat terlibat didalamnya. Tahapan-tahapan tersebut
adalah : (1) penelaahan kebutuhan (need assessment), (2) proses
perencanaan (planning process), (3) pelaksanaan program (program
implementation), (4) pemantauan dan penilaian (monitoring and
evaluation), dan (5) pengembangan program (program expansion).
Komponen
partisipasi yang dapat dipakai sebagai indikator adalah kegiatan-kegiatan yang
dilakukan anggota masyarakat pada tiap tahapan program pembangunan hukum. Pada
dasarnya, komponen tersebut merupakan variabel komposit yang dapat diamati dan
diukur. Komponen-komponen tersebut, sebagai berikut :
Pengelolaan
program. Yang termasuk dalam komponen ini adalah proses pengambilan keputusan (decision
making process), kepemimpinan (leadership) yang erat kaitannya
dengan proses pengambilan keputusan dan pengorganisasian (organization);
Kegiatan administrasi (administration).
Komponen ini antara lain ditunjukkan melalui kegiatan pencatatan, dan pelaporan
berbagai kegiatan yang dilakukan;
Kontribusi. Komponen ini meliputi
baik dalam hal waktu, tenaga, finansial, material, maupun ide serta saran (resources
contribution or mobilization) untuk terlaksananya kegiatan posyandu;
Pemanfaatan
hasil program (utilization of program’s outcome). Komponen ini
ditunjukkan melalui seberapa besarnya program pembangunan hukum dimanfaatkan
oleh kelompok sasaran; dan
Kegiatan
lain yang bertujuan untuk pengembangan dan pendukung program (program
improvement and support). Komponen ini menunjukkan aspek kualitatif
partisipasi masyarakat karena mengukur berbagai kegiatan inovatif yang
bertujuan meningkatkan hasilguna dan daya guna program pembangunan hukum.
Komponen
pemantauan dan penilaian mempunyai dua sisi, yaitu sebagai suatu kegiatan dan
sebagai suatu tahapan dari suatu program. Sebagai suatu kegiatan, pemantauan
dan penilaian dapat dipakai sebagai indikator partisipasi masyarakat, tetapi
kegiatan itu erat terkait dengan komponen pengelolaan (manajemen), sehingga
pengidentifikasiannya dapat disatukan dalam komponen tersebut.
Konteks
partisipasi menunjukkan mengapa
masyarakat mau berpartisipasi dalam suatu kegiatan, yang ditunjukkan dalam
karakteristik kegiatan tersebut dan latar belakang sosial masyarakat setempat,
yang dapat mendorong atau mempengaruhi masyarakat untuk mau atau tidak mau
berpartisipasi.
Melalui
elaborasi terhadap konsep Uphoff dan Cohen, dapat disimpulkan bahwa adanya
partisipasi masyarakat ditunjukkan oleh keterlibatan masyarakat setempat
termasuk tokoh masyarakatnya pada setiap tahap kegiatan pembangunan hukum dalam
hal :
Proses
pengambilan keputusan;
Proses
pelaksanaan program yang dapat berupa kontribusi sumber daya (resources)
dalam wujud tenaga, finansial, serta kegiatan administratif; dan
Proses pemanfaatan hasil program.
Ter
Haar Bzn
Dalam
teorinya tentang keputusan (beslissingenleer) dikemukakan bahwa
keputusan yang diambil atau dilakukan oleh warga masyarakat atau
pejabat-pejabat hukum, harus dilihat sebagai kaidah hukum individual atau
kongkrit, yang menyimpulkan kaidah hukum umum yang berlaku bagi kasus-kasus
yang sama.
4.
Kerangka Konsep
Suatu
kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan
merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari
gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep
merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.
Didalam
ilmu-ilmu sosial, konsep-konsep tersebut sebaiknya diambil dari teori (apabila
ada), atau mungkin dari hasil suatu pengamatan (observasi).
Suatu
kerangka konsep pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang
lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak.
Namun demikian, suatu kerangka konsep kadang-kadang dirasakan masih juga
bersifat abstrak, sehingga masih diperlukan definisi-definisi operasional yang
akan dapat menjadi pegangan kongkrit didalam proses penelitian. Sehingga dengan
demikian, selain terdiri dari konsep konsep, suatu kerangka konsep dapat pula
mencakup definisi-definisi operasional.
4.1. Pengertian Masyarakat
Terminologi
masyarakat yang sering dipergunakan umum mencakup tiga komponen, yaitu : (1) kelompok
individu yang hidup dalam satu wilayah tertentu, (2) adanya hubungan antar
individu di luar rumah tangga yang bersifat hubungan sosial dan saling
membantu, serta (3) adanya kesamaan norma dan nilai sehingga menimbulkan rasa
solidaritas dan kegiatan bersama (Greenblat, 1981). Batasan itu menonjolkan
lokalitas bersama, dan jaringan hubungan antara anggota masyarakat, tetapi
tidak menunjukkan adanya dinamika dari suatu masyarakat, padahal masyarakat itu
selalu berkembang walaupun kecepatan perkembangan tersebut berbeda antara satu
masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Berbagai
batasan tersebut tidak menunjukkan adanya dinamika masyarakat dan perbedaan
peran tiap anggota masyarakat. Pandangan para ahli yang terlibat dalam
pengembangan masyarakat, menambah batasan tersebut dengan indikator adanya
kemampuan para anggotanya dalam mengorganisasikan kelompok mereka sedemikian
rupa, sehingga kelompok tersebut mampu menanggulangi setiap perubahan dan
situasi yang meengancam kebersamaan dan stabilitas mereka. Pengorganisasian
tersebut menimbulkan stratifikasi dari anggota masyarakat sehingga terjadi
suatu pola hubungan tertentu antar anggotanya yang mencegah terjadinya
pertentangan antara satu individu dengan individu lainnya dalam upayanya
mencapai tujuan bersama (Clelland, 1974; Greenblat, 1981).
Stratifikasi
juga menunjukkan posisi tiap anggota masyarakat dalam struktur kemasyarakatan
yang dihubungkan dengan tanggung jawab mereka, terutama dalam proses
pengambilan keputusan. Kegiatan tersebut akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan
dan perkembangan dari masyarakat tersebut (Bates & Julian, 1975). Di
samping itu masyarakat juga selalu berubah. Perubahan tersebut tidak hanya pada
jumlah anggotanya saja, tetapi menyangkut juga perubahan kebutuhan berdasarkan
berbagai pengalaman tiap anggota masyarakat.
Konsep
terakhir tersebut menunjukkan adanya usaha pencapaian kebutuhan masyarakat
secara mandiri yang selalu berubah mengikuti berbagai pengalaman masyarakat itu
(Upgalde, 1985). Konsep itu juga lebih cocok dipakai dalam studi yang bertujuan
untuk menganalisis partisipasi masyarakat sebagai suatu proses dinamis. Batasan
tersebut juga telah mencakup kedua pengertian yang disebut terdahulu, disamping
juga mendukung kenyataan bahwa masyarakat bukanlah penerima pasif dari suatu
kegiatan, melainkan merupakan mitra kerja dalam setiap kegiatan pembangunan.
Oleh sebab itu, untuk menelaah partisipasi masyarakat perlu diperhatikan peran
masing-masing anggota masyarakat yang ikut terlibat dalam proses pembangunan,
termasuk bagaimana peran tersebut dilaksanakan (Uphoff, et al, 1979)
4.2. Pengertian Partisipasi
Istilah
partisipasi (participation) atau partisipasi atau juga mempunyai arti
yang luas. Sering istilah tersebut diasumsikan hanya sebagai ‘kontribusi’
finansial, material, dan tenaga dalam suatu program. Kadang juga diberi
pengertian sebagai self-help, self reliance, cooperation dan local
autonomy dimana istilah-istilah tersebut kurang menggambarkan apa yang
dimaksud dengan partisipasi itu sendiri. Self-help, self reliance dan local
autonomy menggambarkan kondisi akhir yang diharapkan dari suatu program
yang memakai pendekatan partisipatif. Cooperation menunjukkan cara
bagaimana partisipasi masyarakat diimplementasikan pada suatu kegiatan atau
program.
Bank
dunia (1978) memberi batasan partisipasi masyarakat sebagai: “…the
involvement of all those affected in decision making about what should be done
and how, mass contribution to the development effort i.e. to the implementation
of the decision, and sharing in the benefits of the programme.”
Batasan
itu mengandung tiga pengertian : (1) keterlibatan masyarakat yang terkena
dampak pengambilan keputusan tentang hal-hal yang harus dikerjakan dan cara
mengerjakannya, (2) keterlibatan tersebut berupa kontribusi dari masyarakat
dalam pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan, dan (3) bersama-sama
memanfaatkan hasil program sehingga masyarakat mendapatkan keuntungan dari
program tersebut (Rifkin, 1990).
Dari
beberapa pengertian tentang masyarakat dan partisipasi masyarakat tersebut
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud partisipasi masyarakat dalam porgram
pembangunan adalah:
“Suatu
proses keterlibatan yang bertanggungjawab dalam suatu kegiatan dari suatu
kelompok individu yang merupakan suatu unit kegiatan (unit of action)
dalam proses pengambilan keputusan, kontribusi dalam pelaksanaannya dan
pemanfaatan hasil kegiatan, sehingga terjadi peningkatan kemampuan kelompok
tersebut dalam mempertahankan perkembangan yang telah dicapai secara mandiri.”
Dalam
operasionalisasinya, batasan-batasan tersebut perlu dijelaskan bagaimana dan
dengan cara apa proses tersebut berlangsung, kegiatan-kegiatan apa saja yang
dilakukan dan seberapa jauh kegiatan tersebut dilakukan sehingga dapat dipakai
sebagai dasar untuk menentukan indikator dan pengukurannya.
4.3. Pengertian Partisipasi
Masyarakat
Dalam
pengertian partisipasi tercakup dua sistem yang terlibat dalam suatu kegiatan.
Kedua sistem itu adalah sistem dari pemerintah yang merupakan provider di pihak
kesatu, dan dengan sistem dari masyarakat di pihak lain. Kedua pihak secara
fungsional sering mempunyai karakteristik dan pandangan yang sangat berbeda
dalam konteks partisipasi. Berdasar pandangan bahwa program pengembangan
masyarakat adalah sama dengan pengembangan kelompok masyarakat pedesaan yang
miskin (rural poor community). Pandangan ini sering ada pada sudut
pandang pemerintah atau provider, partisipasi masyarakat seolah-olah
merupakan kewajiban yang harus diadakan oleh ‘masyarakat yang mendapat
bantuan’. Dalam keadaan tersebut, masyarakat tidak mempunyai otoritas terhadap
kegiatan karena semuanya telah ‘diatur’ dan ‘dijadwal’ oleh pemberi kegiatan.
Di
pihak lain, masyarakat menyatakan bahwa program pengembangan itu dapat pada
siapa saja, tidak peduli apakah kelompok sasaran tersebut merupakan kelompok masyarakat
pedesaan yang miskin ataupun kelompok masyarakat di kota yang sudah cukup dari
segi sosial ekonomi. Pendapat itu menganggap bahwa partisipasi merupakan hak
dari masyarakat. Masyarakat boleh menggunakan atau tidak menggunakan ‘hak’
tersebut dalam suatu kegiatan yang diadakan oleh pemberi kegiatan. Apabila
pemberi kegiatan menginginkan partisipasi masyarakat, diperlukan suatu
pendekatan tertentu untuk mendapatkannya (Arnstein, 1969).
Peter
Oakley dan David Marsden (1985) juga menyimpulkan bahwa banyaknya variasi dalam
pelaksanaan partisipasi masyarakat disebabkan oleh setiap batasan menonjolkan
dimensi yang berbeda dari partisipasi masyarakat. Satu pendapat menyatakan
bahwa jika ada keterlibatan dari masyarakat, bagaimanapun bentuk dan prosesnya,
maka dikatakan bahwa masyarakat telah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Hal itu memang tidak keliru tetapi masih kurang tepat karena hanya melihat
aspek kuantitatif dari partisipasi. Implementasi pendapat itu sering berupa
mobilisasi sumber daya masyarakat dalam suatu kegiatan tanpa masyarakat tahu
apa tujuan kegiatan tersebut dan keuntungan apa yang akan diperoleh dengan
keterlibatannya.
Batasan
lain menyatakan bahwa secara konseptual, partisipasi terjadi apabila telah ada
pembagian ulang kekuasaan (redistribution of power) dalam menentukan
pelaksanaan kegiatan tersebut antara penyedia kegiatan (provider) dengan
mayarakat (Arnstein, 1969). Namun peneliti lain menyatakan bahwa ‘wewenang
dalam pengambilan keputusan’ hanyalah salah satu komponen dari yang disebut
sebagai partisipasi. Kontribusi tenaga kerja, material dan finansial juga
merupakan komponen dari partisipasi di samping komponen lainnya (Uphoff &
Cohen, 1979).
Penulis
lain mengatakan, dalam menentukan partisipasi masyarakat, tidak perlu melihat dalam
bentuk apa partisipasi masyarakat tersebut tampak, tetapi menitikberatkan pada
apa yang seharusnya dicapai pada akhir suatu kegiatan dengan partisipasi, yaitu
meningkatnya kemampuan masyarakat dalam membuat keputusan dan tanggung
jawabnya pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pelaksanaannya. Pendapat
itu memandang partisipasi hanyalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan
tertentu (participation as a means) sehingga analisis lebih memberi
kesan ke arah identifikasi keluaran (output) partisipasi masyarakat, dan
bukan pada pengertian partisipasi masyarakat itu sendiri (Askew, 1989).
4.4. Pengertian Pembangunan Hukum
Pembangunan
Hukum dan perundang-undangan dimaksudkan sebagai upaya menciptakan sistem hukum
dan produk hukum yang mengayomi dan memberikan landasan hukum bagi kegiatan
masyarakat dan pembangunan. Kesadaran hukum yang makin meningkat dan makin
lajunya pembangunan menuntut terbentuknya sistem hukum nasional dan produk
hukum. Pembangunan hukum selanjutnya masih perlu memperhatikan peningkatan
pemasyarakatan hukum, peningkatan pelaksanaan penegakan hukum secara konsisten
dan konskekuen, peningkatan aparat hukum yang berkualitas dan bertanggungjawab,
serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai (GBHN, 1999).
5. Tujuan Penelitian
Mengidentifikasikan
bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan daerah dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya; dan
Mengidentifikasikan
indikator-indikator yang dapat dipergunakan sebagai sarana pemantauan dan
penilaian terhadap keberhasilan penyusunan peraturan daerah
Mengidentifikasikan
upaya-upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan
daerah.
6. Signifikansi Penelitian
6.1. Signifikansi Teoritis
Mendorong
penelitian lebih lanjut mengenai masalah yang sama maupun masalah lain yang ada
pada kabupaten/kota dan hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan tentang partisipasi masyarakat kabupaten/kota dalam proses
penyusunan peraturan-peraturan daerah.
6.2. Signifikansi Praktis
Bagi
para pembuat kebijakan, penelitian ini berguna untuk :
Membuat
perencanaan penyusunan peraturan-peraturan daerah yang lebih berorientasi
kepada optimalisasi partisipasi masyarakat;
Menganalisis
maupun mengevaluasi partisipasi masyarakat yang tumbuh dalam masyarakat pada
penyusunan peraturan-peraturan daerah yang telah berjalan; dan
Mengetahui
kelemahan-kelemahan yang ada sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk
pengembangan maupun perbaikan pada tahap selanjutnya.
7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Guna
memenuhi tujuan penelitian yang telah dikemukakan, penelitian ini dirancang
sebagai penelitian dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini
dilakukan dilakukan melalui suatu tahapan eksploratif, yang bertujuan
mengidentifikasi indikator partisipasi masyarakat pada penyusunan
peraturan-peraturan daerah yang mencakup dua kegiatan utama, yaitu :
a. telaah dokumen dan kepustakaan,
untuk mendapatkan gambaran mengenai penyusunan peraturan daerah dan menentukan
variabel-variabel tentatif yang dapat dipakai sebagai indikator dari
partisipasi masyarakat; dan
b. studi di lapangan, yang bertujuan
untuk mengidentifikasikan apakah indikator tentatif telaah kepustakaan tersebut
memang terdapat dalam penyusunan peraturan daerah yang dilaksanakan oleh
masyarakat. Bila kegiatan tersebut dilakukan, dalam bentuk apakah wujud
kegiatan tersebut. Dari melihat wujud kegiatan, kemudian dapat ditentukan karakteristik
dan dimensi tiap indikator.
1.7.2. Identifikasi Variabel
variabel
Sebagai
hasil akhir penelaahan kepustakaan dan studi di lapangan, teridentifikasikan
variabel-variabel utama yang akan dilibatkan dalam penelitian (Suryabrata:
1992). Dalam penelitian ini, variabel-variabel itu merupakan variabel komposit
yang dapat diamati dan diukur yaitu dalam bentuk komponen-komponen partisipasi
yang dipergunakan juga dipakai sebagai indikator. Komponen-komponen tersebut
adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat pada tiap tahapan
kegiatan penyusunan peraturan daerah.
1.7.3. Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian adalah Pemerintah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan
lokasi ini didasarkan pada pertimbangan terdapatnya variasi pada status sosial
ekonomi masyarakat di lokasi penelitian, oleh karena lokasi penelitian
merupakan daerah yang baru berkembang (urbanized—transisi dari
masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan), sehingga pada akhirnya dari
hasil penelitian diharapkan diperoleh gambaran tingkat partisipasi masyarakat
pada penyusunan peraturan-peraturan daerah (khususnya program posyandu) di
Kelurahan Sukahati tersebut.
1.7.4. Pengumpulan data
Pada dasarnya, pengolahan, analisis dan konstruksi data dapat
dilakukan secara kualitatif dan atau secara kuantitatif dan merupakan dua cara
yang saling melengkapi, oleh karena kedua cara tersebut mempunyai keuntungan
dan kelemahan masing-masing. (Soekanto: 1986)
Peneliti kuantitatif biasanya tidak puas dengan hasil analisis
statistik, misalnya oleh karena ternyata hasilnya tidak memuaskan karena tidak
terdapat hubungan. Untuk itu ia lalu mengadakan wawancara mendalam (in-depth
interview) untuk melengkapi penelitiannya. Dengan kata lain, peneliti
kuantitatif tersebut menggunakannya secara bersama-sama. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua pendekatan tersebut dapat digunakan apabila desainnya
memanfaatkan satu paradigma sedangkan paradigma lainnya hanya sebagai
pelengkap saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Glaser dan Strauss dalam Moleong
(2001: 22), yaitu dalam banyak hal, kedua bentuk data tersebut diperlukan,
bukan kuantitatif menguji kualitatif, melainkan kedua bentuk tersebut digunakan
bersama dan apabila dibandingkan masing-masing dapat digunakan untuk keperluan
menyusun teori.
DAFTAR PUSTAKA
Arnstein, Sherry R. (1969) A
Ladder of Citizen Participation, American Institute of Planners Journal.
Askew, I (1989) Organizing
Community Participation in Family Planning Projects in South Asia. Study on
Family Planning.
Bates, Alan P. and Julian, J. (1975)
Sociology. Understanding Social Behavior. Boston: Houghton Mufflin Co.
Clark, John. (1995) “The State,
Popular Participation, and the Voluntary Sector.” World Development
23, No. 4.
Cohen, John M. dan Norman T. Uphoff
dalam Ibnu Syamsi. (1986) Pokok-pokok Kebijaksanaan, Perencanaan,
Pemrograman dan Penganggaran Pembangunan Tingkat Nasional dan Regional.
Jakarta: Rajawali.
Cohen, John M. dan Norman T. Uphoff.
(1980) “Participation’s Place in Rural Development: Seeking Clarity Through
Specificity.” Dalam World Development
Clelland, Donal A. (1974) Social
Stratification. In The Study of Society. Whitten and O’Connel (eds).
Guildford Connecticut: The Dushkin Publishing Group, Inc.
Friedmann, John. (1992) Empowerment—The
Politics Alternative Development. Cambridge: Blackwell Publishers.
Greenblat, C.S. (1981) Social
Structure. Chapter IV. In An Introduction to Sociology. New York: Alfred A.
Konpf. Inc
Korten, David C. (1984), People
Centered Development Contributions Toward Theory and Planning Frameworks, terjemahan
A. Setiawan Abadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, Lexy J. (1999) Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakadya.
Oakley, Peter dan David Marsden.
(1984) Approaches to Participation in Rural Development. Geneva: ILO.
Peters, A.A.G; Siswosoebroto,
Koesriani. (1990), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku I, II dan III.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rahardjo, Satjipto. (2000). Ilmu
Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Ranawijaya, Usep. (1983) Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rifkin, SB; F. Muller; W. Bichman.
(1988) Primary Health Care: on Measuring Participation. Social Science
and Medicine. 26(9): 931-940
Sekretariat Negara (1999) Garis-garis
Besar Haluan Negara. Jakarta: Sekretariat Negara Publishing.
Soekanto, Soerjono. (1986) Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Soekanto, Soerjono; Mamudji, Sri.
(2001), Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Perkasa.
Suryabrata, Sumadi. (1992) Metodologi
Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali.
Sunter, 29 Desember 2003